JAKARTA - Transformasi ekonomi digital di Indonesia terus berkembang pesat. Salah satu langkah strategis yang diambil pemerintah dan otoritas keuangan adalah mendorong penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai sistem pembayaran nasional. Bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), QRIS disebut-sebut sebagai jembatan utama menuju inklusi digital. Namun, apakah kenyataan di lapangan sejalan dengan harapan tersebut?
QRIS merupakan sistem pembayaran berbasis kode QR yang dikembangkan oleh Bank Indonesia untuk menyatukan berbagai metode pembayaran digital dalam satu standar. Inovasi ini memungkinkan pelaku usaha menerima pembayaran dari berbagai aplikasi dompet digital hanya dengan satu kode QR yang sama, sehingga transaksi menjadi lebih praktis, efisien, dan inklusif.
“QRIS hadir bukan hanya untuk mempermudah transaksi, tetapi juga sebagai bentuk akselerasi transformasi digital yang merata, dari kota hingga desa,” jelas perwakilan Bank Indonesia dalam berbagai forum sosialisasi.
QRIS dan Harapan untuk UMKM
UMKM memegang peran vital dalam perekonomian nasional. Data terbaru menunjukkan sektor ini menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 90% tenaga kerja nasional. Namun, di balik kontribusi besar itu, UMKM masih menjadi kelompok yang paling rentan tertinggal dalam digitalisasi.
QRIS diharapkan menjadi pintu masuk UMKM ke dalam ekosistem digital nasional. Melalui sistem ini, pelaku usaha tidak hanya dapat menerima pembayaran digital, tetapi juga secara otomatis tercatat dalam sistem keuangan formal. Dengan begitu, mereka berpotensi mendapatkan akses ke berbagai layanan seperti pinjaman perbankan, program pembiayaan pemerintah, serta perluasan pasar melalui platform digital.
“QRIS memberi peluang besar bagi UMKM untuk naik kelas. Tidak sekadar transaksi digital, tapi juga untuk membangun rekam jejak keuangan,” terang pejabat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sesi pelatihan digitalisasi di beberapa daerah.
Realitas Tantangan: Infrastruktur, Literasi, dan Kepercayaan
Meskipun adopsi QRIS menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan Bank Indonesia mencatat lebih dari 26 juta merchant telah menggunakan QRIS hingga pertengahan 2023 kesenjangan adopsi masih terlihat jelas antara kawasan perkotaan dan pedesaan.
Banyak pelaku usaha, terutama di pasar tradisional dan wilayah terpencil, masih kesulitan menggunakan QRIS karena minimnya infrastruktur, seperti jaringan internet yang lemah, serta kurangnya pemahaman terhadap teknologi pembayaran digital.
“QRIS itu kelihatannya mudah, tapi bagi kami yang tidak paham cara pakainya, malah bikin bingung. Belum lagi kalau sinyalnya hilang,” ungkap salah satu pedagang di pasar tradisional wilayah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Masalah lain yang kerap muncul adalah rendahnya tingkat literasi digital dan persepsi negatif terhadap sistem non-tunai. Beberapa pelaku UMKM menganggap penggunaan QRIS rumit, atau bahkan merasa sistem ini “bukan untuk mereka”.
Strategi Optimalisasi: Edukasi dan Pendampingan Menjadi Kunci
Meningkatkan jumlah pengguna QRIS saja tidak cukup. Optimalisasi harus menyentuh aspek paling dasar dari kesiapan masyarakat, yaitu pendidikan digital, akses yang merata, dan pendekatan yang inklusif.
Program edukasi dan literasi digital, seperti pelatihan yang dilakukan Bank Indonesia dan OJK, perlu diperluas dan dilakukan secara berkelanjutan. Pendekatan tidak boleh hanya bersifat teknokratis, tetapi juga menggunakan bahasa lokal, pendekatan komunitas, dan metode yang sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat.
“Optimalisasi QRIS perlu didukung strategi yang lebih manusiawi. Jangan hanya bicara teknologi, tapi juga pahami kebutuhan dan keterbatasan pelaku UMKM,” ujar narasumber dari komunitas UMKM di Yogyakarta.
Selain itu, pemberian insentif seperti subsidi perangkat, pelatihan gratis, dan pembebasan biaya transaksi sementara dapat mempercepat adopsi QRIS di lapisan usaha mikro yang paling dasar. Pemerintah daerah juga didorong untuk aktif menginisiasi program sinergis dengan pelaku usaha lokal dan lembaga keuangan.
Jalan Menuju Inklusi Digital
QRIS sejatinya bukan hanya inovasi teknologi, tetapi simbol dari kesiapan ekonomi rakyat menyongsong era digital. Jika dikelola dan diimplementasikan dengan inklusif, sistem ini bisa membuka peluang besar bagi UMKM untuk tidak hanya bertahan, tetapi menjadi motor penggerak ekonomi nasional ke depan.
Namun, agar transformasi ini tidak sekadar menjadi proyek digitalisasi elitis, maka semua lapisan—pemerintah, regulator, swasta, dan masyarakat harus bergandengan tangan. QRIS harus benar-benar menyentuh akar kebutuhan, mulai dari literasi, infrastruktur, hingga kepercayaan pelaku usaha.
Digitalisasi tidak boleh menjadi lintasan yang hanya disiapkan bagi segelintir. Jika tidak, UMKM akan terus dituntut berlari menuju digital, sementara jalannya belum rata. QRIS bisa menjadi jawaban, asalkan jalur transisinya dibuka secara nyata.