Petani

Kenaikan Pungutan Ekspor Sawit Dinilai Merugikan Petani Swadaya

Kenaikan Pungutan Ekspor Sawit Dinilai Merugikan Petani Swadaya
Kenaikan Pungutan Ekspor Sawit Dinilai Merugikan Petani Swadaya

JAKARTA - Kebijakan pemerintah yang menaikkan pungutan ekspor (PE) kelapa sawit dan turunannya dari 7,5% menjadi 10% melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025, yang mulai berlaku pada 17 Mei 2025, menuai kritik tajam dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Mereka menilai kebijakan ini akan menambah beban petani sawit swadaya, yang selama ini sudah menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan kelangsungan usaha mereka.

Dampak Langsung pada Harga Tandan Buah Segar (TBS)

Kenaikan tarif PE diperkirakan akan menurunkan harga TBS yang diterima petani, dengan estimasi penurunan mencapai Rp300 hingga Rp500 per kilogram. Hal ini disebabkan oleh tekanan pada harga minyak sawit mentah (CPO) lokal akibat peningkatan pungutan ekspor. Menurut Ketua Umum SPKS, Sabarudin, "Setiap beban ekonomi, seperti pajak dan pungutan ekspor, akan berdampak langsung pada petani. Kami memperkirakan penurunan harga TBS antara Rp 300 hingga Rp 500 per kilogram akibat kenaikan tarif ini." 

Keterbatasan Akses terhadap Dana BPDPKS

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengelola dana yang dihimpun dari pungutan ekspor untuk mendukung program biodiesel dan peremajaan sawit rakyat. Namun, SPKS menyoroti bahwa hampir 90% dana BPDPKS dialokasikan untuk subsidi perusahaan industri biodiesel, sementara akses petani terhadap dana tersebut sangat terbatas. Marselinus Andry, Kepala Departemen Advokasi SPKS, menyatakan, “Model rantai pasok TBS kelapa sawit yang panjang di tingkat petani sawit swadaya sangat rentan, dan tidak memungkinkan mereka mendapatkan nilai tambah dari hasil produksinya.”

Risiko Terhadap Produktivitas dan Keberlanjutan Kebun

Kenaikan pungutan ekspor dapat mengurangi pendapatan petani, sehingga mereka kesulitan untuk melakukan perawatan kebun secara optimal. Kepala Departemen Riset, Kampanye, dan Kebijakan Publik Sawit Watch, Hadi, mengungkapkan, "Penurunan pendapatan ini akan membatasi petani dalam mengelola kebunnya secara maksimal, termasuk melakukan perawatan."

Tantangan dalam Program Peremajaan Sawit Rakyat

Program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas kebun petani swadaya juga menghadapi kendala. SPKS mencatat bahwa penyerapannya tidak mencapai target hampir setiap tahunnya, sementara dana yang tersedia di BPDPKS lebih banyak digunakan untuk subsidi industri biodiesel. Marselinus Andry menambahkan, "Di sisi lain, subsidi kepada industri biodiesel terus meningkat tiap tahun, mengikuti peningkatan bauran serta kuota yang dibutuhkan guna produksi biodiesel."

Desakan untuk Meninjau Kembali Kebijakan

SPKS mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan tarif pungutan ekspor tersebut dan membangun instrumen kompensasi atas risiko kerugian petani. Mereka juga meminta agar dana BPDPKS lebih difokuskan untuk mendukung program yang langsung bermanfaat bagi petani, seperti peremajaan sawit rakyat dan peningkatan produktivitas kebun. Marselinus Andry menegaskan, “Pentingnya melibatkan TBS petani sawit sebagai bahan baku dalam produksi biodiesel akan menghemat biaya subsidi yang dikeluarkan pemerintah melalui BPDPKS, sehingga tidak perlu menaikkan tarif PE CPO.”

Kebijakan kenaikan pungutan ekspor CPO menjadi 10% berpotensi menambah beban ekonomi bagi petani sawit swadaya. Tanpa adanya dukungan yang memadai dari pemerintah, seperti akses yang lebih baik terhadap dana BPDPKS dan program peremajaan sawit rakyat yang efektif, petani akan semakin terpuruk. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan ini dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil dapat memberikan manfaat langsung bagi petani sawit swadaya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index