AI

AI di Dunia Pendidikan: Ancaman atau Mitra bagi Guru dan Dosen?

AI di Dunia Pendidikan: Ancaman atau Mitra bagi Guru dan Dosen?
AI di Dunia Pendidikan: Ancaman atau Mitra bagi Guru dan Dosen?

JAKARTA - Perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam dunia pendidikan memicu perdebatan global: benarkah AI dapat menggantikan peran dosen dan guru? Dalam berbagai laporan dan diskusi ilmiah, muncul kesimpulan penting bahwa AI memang mampu mendampingi dan meningkatkan efisiensi pendidikan, namun tidak dapat menggantikan sentuhan manusia yang esensial dalam proses belajar-mengajar.

AI Bukan Manusia, Jangan Disamakan

Salah satu kesalahan berpikir yang kerap muncul dalam diskursus publik adalah menganggap AI sebagai entitas setara dengan manusia. Padahal, AI adalah alat bantu, bukan subjek hukum atau makhluk hidup yang bisa disamakan dengan manusia.

Fenomena ini mencuat ketika muncul upaya menjadikan AI sebagai pemilik hak paten atau hak cipta. Dalam beberapa kasus, ada pihak yang mengajukan paten dan hak cipta dengan mencantumkan AI sebagai penemunya. Namun, sejumlah pengadilan di Inggris, Australia, dan Amerika Serikat secara tegas menolak hal ini.

"AI hanya alat bantu, bukan individu. Pengakuan sebagai subjek hukum hanya berlaku bagi manusia atau badan hukum yang merepresentasikan manusia," demikian bunyi pertimbangan hukum dari berbagai putusan yang menolak pengakuan AI sebagai pencipta.

Ini menjadi dasar penting bahwa, meskipun AI menunjukkan kecerdasan menyerupai manusia, secara hukum dan etika, ia tetaplah sebuah mesin bukan pengganti manusia dalam tugas dan tanggung jawab sosial.

Efisiensi Ada, Tapi Tidak Menggantikan Peran Dosen

Dalam artikel EU Reporter berjudul “Can Artificial Intelligence Replace College Teachers?” yang ditulis oleh Colin Steven, dibahas secara rinci potensi dan keterbatasan AI dalam dunia pendidikan tinggi.

Steven mengakui bahwa AI sudah digunakan dalam proses pembelajaran, mulai dari penilaian otomatis hingga adaptasi materi ajar secara personal.

“AI sangat efektif dalam mengotomasi tugas-tugas rutin dan menghadirkan pengalaman belajar yang lebih personal,” tulisnya.

Namun, Steven juga menegaskan bahwa kemampuan AI terbatas pada aspek teknis dan tidak bisa menggantikan kemampuan manusia dalam memberikan interaksi sosial, pendampingan akademik, hingga pengembangan pemikiran kritis.

“AI tak mampu meniru kecerdasan emosional yang dimiliki dosen manusia,” tulisnya lagi, menggarisbawahi pentingnya empati dan kepekaan dalam pengambilan keputusan saat mengajar.

Risiko Etis dan Kesenjangan Digital

Penerapan AI dalam pendidikan membawa sejumlah persoalan etis, mulai dari privasi data, bias algoritma, hingga potensi diskriminasi akses. Tidak semua siswa atau mahasiswa memiliki akses setara terhadap teknologi, apalagi di daerah-daerah yang masih minim infrastruktur digital.

World Economic Forum (WEF) dalam laporan berjudul “Education is a place where we build democracy” mengungkap bahwa:

“Sekitar 71 persen orang tua, pendidik, dan pemimpin pendidikan mengkhawatirkan dampak AI terhadap proses pembelajaran, sementara 60 persen tidak percaya penuh pada sistem AI dalam pendidikan.”

WEF juga memperingatkan kemungkinan munculnya dua kelas pendidikan: satu untuk siswa yang masih bisa belajar langsung dengan guru, dan satu lagi yang hanya mengandalkan chatbot.

“Jika tak diantisipasi, anak-anak dari kelompok kurang mampu akan semakin tertinggal,” tulis laporan tersebut.

Guru Tetap Pusat Sistem Pendidikan

Meskipun AI menunjukkan banyak potensi, laporan WEF menegaskan bahwa guru harus tetap menjadi pusat dalam ekosistem pendidikan. Peran guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembina karakter, pembimbing, dan pendamping emosional bagi peserta didik.

“Keterlibatan guru dalam merancang dan mengawasi pemanfaatan AI menjadi hal yang sangat penting agar teknologi ini digunakan secara etis dan manusiawi,” tulis David Elliott dalam laporan WEF.

Laporan tersebut menyimpulkan bahwa sinergi antara kecanggihan teknologi dan kepekaan manusia adalah kunci untuk menciptakan sistem pendidikan yang adil dan inklusif.

AI adalah Mitra, Bukan Pengganti

Realitas saat ini menunjukkan bahwa AI dapat membantu meringankan beban administratif dan teknis guru serta dosen. Namun, untuk hal-hal yang bersifat afektif, kontekstual, dan personal, manusia tetap tak tergantikan.

Dengan pengelolaan yang bijak, dosen dan guru bisa memanfaatkan AI untuk lebih fokus pada mentoring, kreativitas, dan pendampingan individual yang selama ini menjadi inti dari pendidikan berkualitas.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat untuk tidak melihat AI sebagai pesaing, melainkan sebagai mitra pendukung yang memperkuat kualitas pendidikan. Edukasi tentang literasi digital, etika penggunaan AI, serta pemerataan akses harus menjadi prioritas kebijakan pendidikan nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index