JAKARTA - Dalam upaya merekam sekaligus mengangkat kekayaan budaya dan kehidupan masyarakat Desa Katu, organisasi Jurnalis Wanita Indonesia (JUWITA) kembali memperkenalkan karya dokumenter terbarunya berjudul ‘Kopi Tua Desa Katu’. Film yang berdurasi sekitar 25 menit ini tayang perdana pada Festival Tampo Lore, yang berlangsung di Desa Hangira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso.
JUWITA, yang dikenal sebagai wadah penguatan peran jurnalis perempuan serta pemberdayaan komunitas melalui karya jurnalistik dan advokasi, berkolaborasi dengan Alfatwa Multimedia untuk menggarap film ini. Hasilnya adalah dokumenter yang tidak hanya menampilkan keindahan alam dan budaya lokal, tapi juga menyoroti hubungan erat kopi dengan sejarah dan identitas masyarakat Desa Katu.
Ketua JUWITA, Kartini Naingolan, mengungkapkan bahwa film ini merupakan langkah awal untuk mendokumentasikan jejak kopi yang melekat kuat dalam kehidupan warga desa tersebut. “Banyak kekurangan, karena kami hanya menggunakan peralatan yang seadanya sehingga butuh masukan dari penonton,” ujarnya.
Kartini menegaskan bahwa produksi film ini akan dilanjutkan dengan fokus lebih mendalam terhadap potensi kopi di Desa Katu maupun di desa lain di Sulawesi Tengah. “Film Kopi Tua Desa Katu mungkin seperti profil desa, karena di dalamnya juga banyak menceritakan tentang kondisi penduduk, geografis, sejarah, budaya dan lainnya. Akan tetapi, kami tidak berhenti di situ saja, karena kami akan melanjutkan film lebih fokus pada kopi tertua yang masih ada sampai sekarang,” tambahnya.
Tanggapan dan Kritik untuk Penyempurnaan Film
Dalam sesi diskusi, sejumlah tokoh memberikan apresiasi dan kritik membangun terhadap karya dokumenter tersebut. Mohammad Ikbal, Ketua AMSI Sulawesi Tengah, memuji struktur visual dan narasi film yang kuat, tetapi menyarankan agar penggunaan voice over berbasis AI dapat diganti dengan narasi langsung dari anggota JUWITA atau warga lokal untuk menambah kedalaman emosional.
“Naskahnya sudah rapi, gambar juga cukup kuat. Tapi kalau narasinya dibacakan AI, rasa filmnya berkurang. Akan lebih menyentuh jika disuarakan langsung oleh anggota JUWITA atau bahkan warga Katu sendiri,” ujarnya. Ikbal juga mendorong agar ekspedisi visual dalam film diperluas agar penyajian cerita terasa lebih hidup dan menarik.
Basri Marzuki, jurnalis foto dari Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu, menyoroti pentingnya fokus yang jelas dalam pembuatan film ini. Menurutnya, ada dua fokus utama yang bersaing, yakni cerita tentang kopi tua dan profil Desa Katu. “Harus diputuskan dari awal karena ini tentang kopi tua atau tentang Desa Katu? Karena pembuka film menentukan arah cerita. Kalau tentang Katu, maka desa harus muncul lebih dulu. Kalau tentang kopi, ya kopi yang ditonjolkan dari awal,” kata Basri.
Basri juga menekankan perlunya riset mendalam agar visual dan narasi film dapat berjalan selaras dan fokus. Namun demikian, dia memberikan apresiasi besar terhadap langkah JUWITA yang merupakan organisasi jurnalis perempuan yang memiliki perhatian terhadap pemberdayaan masyarakat desa dan potensi lokal.
“Langkah JUWITA ini tak hanya memperkenalkan kekayaan budaya lokal, tapi juga mendorong lahirnya karya dokumenter yang berkualitas,” tutup Basri.
Film ‘Kopi Tua Desa Katu’ bukan sekadar dokumenter tentang tanaman kopi, tapi juga kisah tentang bagaimana kopi menjadi bagian dari identitas budaya dan sosial warga Desa Katu. Melalui kolaborasi yang didukung oleh berbagai pihak, JUWITA membuka ruang bagi jurnalis perempuan dan komunitas lokal untuk berbicara dan merekam kisah mereka sendiri.
Karya ini juga mengingatkan pentingnya dukungan teknis dan riset mendalam dalam mengangkat sebuah cerita agar bisa lebih menyentuh dan menggugah penonton. Dengan masukan dan kritik yang membangun, JUWITA berkomitmen menyempurnakan karya dokumenter ini sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat dan pelestarian budaya.