JAKARTA - Penanganan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian nasional seperti stunting dan tuberkulosis (TBC) kembali mendapat sorotan tajam dari parlemen. Anggota Komisi IX DPR RI menegaskan bahwa capaian yang diraih Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saat ini belum cukup untuk mengatasi dua persoalan serius tersebut, sehingga diperlukan langkah nyata dan strategis agar hasilnya benar-benar terasa sampai ke pelosok daerah.
Muh Haris, anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), menyampaikan hal itu dalam Rapat Kerja dengan Menteri Kesehatan baru-baru ini. Ia mengingatkan bahwa meskipun sejumlah indikator kesehatan menunjukkan perkembangan positif, upaya khusus seperti eliminasi stunting dan pemberantasan TBC masih jauh dari target yang diharapkan.
“Kita masih menghadapi persoalan signifikan, khususnya dalam stunting dan TBC. Pemerintah harus hadir dengan langkah konkret memperkuat layanan primer dan mempercepat distribusi tenaga kesehatan ke daerah,” tegas Muh Haris.
Realita Angka dan Tantangan Deteksi
Data yang disajikan Kemenkes dalam rapat tersebut mengungkapkan fakta yang kurang menggembirakan. Prevalensi stunting pada balita di tahun 2025 masih berada di angka 19,8 persen, jauh dari target nasional yang ingin ditekan menjadi 14 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan besar dalam memperbaiki gizi dan kesehatan anak sejak usia dini.
Sementara itu, capaian dalam pemberantasan TBC justru mengalami kemunduran dalam aspek pelaporan. Jumlah notifikasi kasus TBC menurun drastis dari sekitar 856 ribu kasus pada tahun 2024 menjadi 374 ribu kasus di tahun 2025. Penurunan ini bukan berarti perbaikan, melainkan justru mengindikasikan lemahnya deteksi dan pelaporan kasus di lapangan, yang berpotensi menyebabkan banyak kasus tak terdeteksi dan tidak tertangani.
Muh Haris juga menyoroti beberapa program strategis Kemenkes yang belum berjalan optimal, seperti program beasiswa dan penugasan dokter spesialis. Menurutnya, angka pemanfaatan sumber daya manusia kesehatan baru mencapai 54,2 persen dari target, kondisi yang belum memadai untuk menjangkau seluruh wilayah tanah air.
“Roadmap yang jelas dan sinergi antar lembaga sangat dibutuhkan, khususnya dalam penguatan layanan rujukan dan pemerataan fasilitas kesehatan,” tambah Muh Haris.
Imunisasi dan Pemerataan Layanan Kesehatan
Kritik lain yang mengemuka adalah rendahnya cakupan imunisasi dasar lengkap, yang baru mencapai 28,8 persen dari target 80 persen. Ketimpangan akses dan sosialisasi yang belum merata menjadi faktor utama penyebabnya. Padahal imunisasi merupakan fondasi penting untuk menjaga kesehatan anak sejak dini dan mencegah penyakit serius.
Selain itu, program pemeriksaan kesehatan gratis (PKG) meskipun telah menjangkau 10,7 juta masyarakat, pelaksanaannya masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Wilayah timur Indonesia serta daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) masih banyak yang belum terlayani dengan optimal. Muh Haris menekankan pentingnya pemerataan ini sebagai bagian dari strategi utama transformasi sistem kesehatan nasional.
“Saat ini, akses layanan kesehatan belum benar-benar merata. Pemerintah harus memperkuat layanan di wilayah timur dan daerah 3T agar manfaat program ini dirasakan seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.
Selanjutnya, Muh Haris mendorong percepatan transformasi sistem kesehatan dengan memanfaatkan teknologi digital seperti platform SATU SEHAT dan ASIK agar layanan kesehatan dapat lebih efisien dan terintegrasi.
Pembangunan rumah sakit umum daerah (RSUD) juga menjadi sorotan, terutama untuk memperkuat layanan sekunder dan tersier di daerah-daerah yang masih minim fasilitas kesehatan. Dengan adanya fasilitas yang representatif, pelayanan medis di wilayah tersebut diharapkan bisa meningkat signifikan.
Komitmen DPR Mengawal Implementasi Kesehatan
Muh Haris menegaskan bahwa DPR akan terus mengawal kebijakan dan anggaran kesehatan agar manfaatnya benar-benar sampai kepada masyarakat, bukan sekadar menjadi laporan administratif. Sinergi yang kuat antara legislatif dan eksekutif dianggap krusial untuk menuntaskan persoalan kesehatan nasional seperti stunting, TBC, dan pemerataan layanan kesehatan.
“DPR tidak hanya mengawasi, tapi juga aktif mengawal agar kebijakan kesehatan dapat diimplementasikan secara nyata dan memberikan manfaat bagi rakyat,” katanya.
Dengan tekanan dan dukungan politik yang makin kuat, Kemenkes diharapkan bisa memperkuat komitmennya dalam membangun sistem kesehatan nasional yang inklusif, adil, dan berdaya jangkau luas. Tantangan memang besar, namun harapan masyarakat agar layanan kesehatan tidak berhenti sebagai janji di atas kertas harus menjadi motivasi utama.