JAKARTA - Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) membuka peluang besar sekaligus tantangan baru di berbagai bidang kehidupan. Dari pendidikan hingga dunia jurnalistik, AI kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari. Namun, seiring kemajuan ini, muncul kebutuhan mendesak untuk menjaga aspek etika dan membekali masyarakat dengan edukasi digital agar pemanfaatan AI tidak menimbulkan dampak negatif.
Hal ini menjadi sorotan dalam Dialog Interaktif yang digelar oleh RRI Bengkulu pada Senin pagi, 14 Juli 2025 dengan tema “Menyikapi Kemajuan Teknologi AI dan Potensi Penyalahgunaan.” Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Provinsi Bengkulu menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang untuk mengupas tantangan dan solusi menghadapi era AI.
Peran AI dalam Dunia Pendidikan dan Tantangan Etika
Salah satu pembicara, Yongki Triansa, mahasiswa Uinfas Bengkulu, menyatakan bahwa penggunaan AI sudah sangat lazim di kalangan mahasiswa. Platform seperti ChatGPT, Gemini, dan alat bantu pembuatan video maupun presentasi menjadi alat andalan dalam menyelesaikan tugas dan skripsi.
Namun Yongki menekankan bahwa AI hanyalah alat yang perlu digunakan dengan bijak. “AI itu ibarat alat. Bisa bantu atau malah menjerumuskan, tergantung siapa yang menggunakan. Jadi mahasiswa harus tahu kapan menggunakan dan kapan berhenti mengandalkan,” tegasnya.
Koordinator Wilayah MAFINDO Bengkulu, Dr. Gushevenalty (Bu Gusti), menambahkan bahwa di lingkungan akademik, pemakaian AI harus diiringi etika yang ketat. Menurutnya, AI tidak boleh menggantikan proses berpikir kritis mahasiswa.
“Yang saya khawatirkan, ketika mahasiswa hanya mengandalkan AI dan tidak memahami hasilnya, maka yang terjadi bukan kemajuan, tapi kemunduran pemikiran kritis. Etika adalah batas yang wajib dijaga,” jelas Bu Gusti. Ia mengingatkan bahwa ketergantungan berlebihan pada AI bisa melemahkan kemampuan analisis generasi muda.
AI dan Dunia Jurnalistik: Perlu Verifikasi Manusia
Selain pendidikan, dunia jurnalistik juga merasakan dampak transformasi akibat AI. Relawan sekaligus jurnalis dan akademisi, Iud Dwi Mursito, memaparkan bahwa AI dapat menjadi alat bantu riset, pembuatan naskah, dan konten visual.
Namun, Iud menegaskan bahwa tanggung jawab verifikasi tetap berada di tangan manusia. “Jurnalis itu tugasnya memverifikasi, bukan menyebarkan. AI boleh dipakai, tapi tetap tanggung jawabnya di tangan manusia. Jangan sampai semua diserahkan ke mesin, nanti hilang kredibilitasnya,” ujarnya.
Fenomena masyarakat yang kini lebih percaya pada informasi dari media sosial dibanding media jurnalistik, menurut Iud, menjadi tantangan besar bagi para jurnalis untuk menjaga integritas dan kualitas pemberitaan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Strategi MAFINDO Melawan Penyalahgunaan AI
Menghadapi potensi penyalahgunaan AI, MAFINDO mengambil peran strategis dengan dua pendekatan utama: pre-bunking atau pencegahan lewat edukasi literasi digital, serta debunking, yakni pembongkaran hoaks yang tersebar di masyarakat.
“Kami punya tim fact-checker profesional dan platform turnbackhoax.id untuk membongkar hoaks, termasuk yang berasal dari konten AI. Tantangannya kini semakin berat, karena membuat konten palsu jauh lebih mudah, tapi membongkarnya tetap butuh keterampilan dan alat khusus,” jelas Bu Gusti.
MAFINDO mendorong kolaborasi lintas sektor agar penanggulangan penyebaran informasi palsu dapat berjalan efektif, serta memastikan masyarakat lebih cerdas dan berhati-hati dalam menerima informasi.
Kolaborasi dan Etika untuk Masa Depan AI
Dialog di RRI Bengkulu ini menegaskan bahwa AI bukan sekadar alat teknologi, tapi juga fenomena sosial yang perlu dimanfaatkan secara bijak. Etika dan edukasi digital menjadi pondasi utama agar teknologi ini bisa memberikan manfaat maksimal tanpa merusak nilai-nilai kemanusiaan.
Masyarakat, pendidik, jurnalis, serta pembuat kebijakan harus bersinergi dalam mengawal pemanfaatan AI, memastikan teknologi tidak disalahgunakan dan tetap memperkuat daya nalar serta integritas manusia di tengah derasnya kemajuan teknologi.