JAKARTA - Di usia 92 tahun, Presiden Kamerun Paul Biya kembali menjadi sorotan dunia setelah secara resmi mengumumkan pencalonannya untuk masa jabatan kedelapan dalam pemilu yang akan digelar pada 12 Oktober 2025.
Biya, yang telah memegang kendali pemerintahan sejak 1982, kini menjadi kepala negara tertua di dunia yang masih menjabat. Dalam hal lamanya berkuasa, ia menempati posisi kedua setelah Presiden Guinea Khatulistiwa, Teodoro Obiang Nguema Mbasogo. Namun berbeda dengan Biya, Mbasogo masih berusia 83 tahun.
Pengumuman pencalonan Biya disampaikan lewat akun X resminya dalam bahasa Prancis dan Inggris. “Saya adalah kandidat dalam pemilihan presiden,” tulisnya, sembari menyebut tekadnya mencalonkan diri sejalan dengan tantangan yang dihadapi negaranya.
Tekad Bertahan Meski Usia Tak Lagi Muda
Keputusan tersebut mengakhiri spekulasi panjang mengenai masa depan politik Biya, terutama setelah tahun lalu ia absen dari publik selama lebih dari 40 hari, yang memicu kekhawatiran terkait kesehatannya. Meski begitu, ia menepis semua keraguan dan menyatakan akan kembali maju dengan alasan adanya dorongan dari seluruh wilayah Kamerun serta diaspora.
Ia menegaskan bahwa dirinya berkomitmen menjaga keamanan dan kesejahteraan rakyat, terutama kaum muda dan perempuan. Bila kembali terpilih, ia berpotensi menjabat hingga mendekati usia 100 tahun.
Namun masa kekuasaannya tidak lepas dari tantangan berat. Tuduhan korupsi, masalah tata kelola, dan konflik berkepanjangan dengan kelompok separatis di wilayah berbahasa Inggris telah mewarnai masa pemerintahannya. Situasi ini menyebabkan gangguan terhadap layanan publik, termasuk pendidikan, dan berujung pada bentrokan berdarah.
Pihak oposisi pun terus mengkritik kekuasaannya yang dinilai terlalu panjang. Sejumlah tokoh dari utara Kamerun yang dahulu menjadi pendukung kuat Biya telah menarik diri dan menyatakan pencalonan masing-masing. Ini mengindikasikan keretakan dalam aliansi yang selama ini menopang kekuasaannya.
Sementara itu, partai berkuasa Gerakan Demokratik Rakyat Kamerun (CPDM), yang diketuai Biya, tetap solid mendukung pencalonannya. Kampanye resmi dijadwalkan dimulai pada 17 September, dan pendaftaran kandidat akan ditutup pada 21 Juli. Tokoh-tokoh lain seperti Maurice Kamto dan Cabral Libii juga telah menyatakan maju sebagai pesaing. Namun, hingga kini Biya belum mempublikasikan platform kampanyenya.
Sosok Tertutup dengan Karier Politik Panjang
Paul Biya sering dijuluki sebagai "sphinx dengan tujuh nyawa", karena kemampuannya bertahan melewati berbagai dinamika politik. Sejak awal, banyak pihak mencoba membaca kepribadiannya melalui pendekatan psikologi dan mistik, namun Biya tetap tampil misterius dan menjaga jarak dari sorotan.
Ia lahir pada 1930-an dan menghabiskan masa mudanya di seminari Katolik. Sejak kecil dikenal sebagai pribadi pendiam dan rajin belajar. Biya kemudian melanjutkan pendidikan di Prancis dan awalnya dianggap sebagai figur non-politik yang tak ambisius. Ia bahkan disebut sebagai sosok pendamping ideal bagi pemimpin, bukan calon pemimpin itu sendiri.
Karier politiknya menanjak sejak 1960-an sebagai penasihat Presiden Ahmadou Ahidjo. Ia lalu diangkat sebagai Perdana Menteri pada 1975. Banyak yang menganggapnya sebagai “boneka politik”, namun ia membalikkan asumsi itu setelah Ahidjo mundur pada 1982. Dengan strategi yang tak terduga, Biya berhasil memegang kendali penuh atas pemerintahan, termasuk melawan loyalis Ahidjo.
Tahun-tahun awal pemerintahannya penuh gejolak, terutama percobaan kudeta 1984 yang ia tangani dengan keras. Dari sanalah muncul sisi Biya yang waspada, strategis, dan sangat terkontrol terhadap militer.
Di bidang ekonomi, masa pemerintahannya menghadapi krisis parah setelah harga komoditas global jatuh pada 1980-an. Walaupun awalnya menolak intervensi IMF, ia akhirnya menerapkan program penyesuaian struktural, yang justru dinilai memperburuk keadaan ekonomi Kamerun.
Dorongan untuk reformasi politik mulai menguat di era 1990-an. Biya merespons dengan membuka ruang legalisasi partai-partai oposisi, namun tetap mempertahankan dominasi melalui pemilu yang kontroversial dan melemahkan lawan politiknya lewat strategi pecah-belah.
Pada 2008, ia mendorong perubahan konstitusi yang menghapus batas masa jabatan presiden, memungkinkan dirinya mencalonkan diri tanpa batas. Sejak itu, Biya terus memenangi pemilu meskipun selalu dibayang-bayangi isu kecurangan dan protes publik.
Arah Kepemimpinan dan Tanda Tanya Suksesi
Dalam dua dekade terakhir, Biya memerintah dengan gaya yang jarang muncul di depan umum. Ia lebih sering berada di luar negeri, terutama di Prancis dan Swiss. Bahkan, absennya dari publik memicu berbagai spekulasi terkait kesehatannya.
Pada 2019, sebuah protes di Jenewa menyoroti meningkatnya tekanan terhadap kepemimpinannya. Orang-orang dekatnya menyebut bahwa peristiwa itu bersamaan dengan usia yang menua dan rumor kesehatan telah mendorongnya untuk merenungkan warisannya.
Namun hingga kini, Kamerun belum memiliki gambaran yang jelas tentang siapa yang akan menggantikannya kelak. Usia lanjut Biya dan banyak pejabat senior lainnya menimbulkan kekhawatiran mengenai kesinambungan pemerintahan jika terjadi perubahan mendadak.
Dengan pemilu yang semakin dekat, dunia kini menanti apakah Biya akan kembali memperpanjang era kekuasaannya, atau justru menandai babak baru bagi Kamerun. Yang jelas, pencalonannya sekali lagi menunjukkan bagaimana sosok satu ini tetap tak tergoyahkan di panggung politik selama lebih dari empat dekade.