JAKARTA - Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menekankan perlunya pemerintah meninjau ulang pungutan dan pajak sektor telekomunikasi. Langkah ini dianggap penting agar pengembangan jaringan generasi kelima (5G) di Indonesia bisa lebih cepat dan efisien.
Direktur Eksekutif ATSI Marwan O Baasir menegaskan bahwa 5G bukan sekadar teknologi baru. Ia menyebutnya sebagai bagian dari roadmap pengembangan jaringan yang harus terus berjalan tanpa hambatan dari operator.
Menurut Marwan, keberlanjutan pembangunan jaringan menjadi kebutuhan mendesak seiring meningkatnya peran internet dalam kehidupan masyarakat dan ekonomi digital. “Continuity-nya harus terjadi. Operator harus jalan di 5G,” kata Marwan usai talkshow ‘Ancaman Kejahatan Digital dan Urgensi Registrasi Pelanggan Seluler Berbasis Biometrik Face Recognition’ di Jakarta.
Tantangan Utama Percepatan 5G
Meski 5G menjadi prioritas, terdapat dua tantangan utama bagi operator, yakni model bisnis dan struktur biaya. Terutama terkait harga spektrum serta beban pajak dan pungutan yang masih tinggi.
Marwan mempertanyakan konsistensi kebijakan pemerintah yang menekankan pentingnya internet, tetapi di sisi lain memberlakukan pajak yang membebani layanan tersebut. Ia menekankan bahwa internet kini menjadi kebutuhan fundamental sekaligus tulang punggung ekonomi digital nasional.
Dengan kondisi ini, Marwan meminta kebijakan fiskal lebih berpihak pada perluasan akses dan peningkatan keterjangkauan layanan. “Internet itu penting banget. Udah nomor tiga. Masa masih pajak terus sih? Pajak masih tinggi, gitu. Cukup lah ambil kemewahan pajak dari kuota-kuota internet ini,” ujarnya.
Pembebanan pajak yang berlebihan dinilai berpotensi menghambat adopsi layanan digital di masyarakat. Oleh karena itu, ATSI mendorong agar kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor telekomunikasi diturunkan ke level yang lebih rasional.
Marwan menyebut bahwa penurunan PNBP dari 12,4% ke angka di bawah 10% dapat memberi ruang investasi lebih luas bagi operator. Hal ini diharapkan mendorong percepatan pembangunan jaringan 5G di seluruh Indonesia.
Selain itu, operator juga masih menunggu kepastian pemerintah terkait dokumen dan jadwal lelang spektrum untuk 5G. Marwan yakin pemerintah akan mempertimbangkan kondisi terkini, termasuk pemulihan konektivitas di wilayah terdampak bencana di Sumatra dan Aceh.
Target dan Strategi Penetrasi 5G
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menargetkan penetrasi 5G mencapai 32% dari total populasi pada 2030. Pada awal 2025, penetrasi 5G baru berada di kisaran 4%–5%, dan per Oktober 2025 mencapai sekitar 10% dari total populasi.
Angka ini masih tertinggal dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia, yang sudah menembus penetrasi 80%. Untuk mempercepat adopsi, Komdigi menyiapkan lelang sejumlah pita frekuensi strategis, termasuk 700 MHz dan 2,6 GHz, serta pita 1,4 GHz.
Pita 700 MHz adalah frekuensi low band yang menjangkau area luas. Sedangkan pita 2,6 GHz termasuk mid band, menawarkan keseimbangan antara cakupan dan kapasitas jaringan.
Ketersediaan spektrum yang memadai diharapkan menjadi katalis percepatan pembangunan dan pemerataan jaringan 5G di Tanah Air. Operator pun akan dapat membangun jaringan dengan kualitas dan kapasitas yang lebih baik.
Selain itu, percepatan 5G mendukung pertumbuhan ekonomi digital nasional. Infrastruktur yang memadai dapat meningkatkan layanan digital bagi masyarakat dan memberikan peluang bisnis lebih luas.
Marwan menekankan bahwa percepatan 5G tidak hanya soal teknologi, tetapi juga model bisnis yang berkelanjutan. Tanpa dukungan fiskal yang memadai, operator sulit merealisasikan investasi besar yang dibutuhkan untuk infrastruktur jaringan modern.
Implikasi Pajak dan Investasi Operator
Beban pajak tinggi dianggap menjadi hambatan utama ekspansi jaringan 5G. ATSI menilai, bila PNBP diturunkan, operator dapat mengalokasikan lebih banyak dana untuk pembangunan infrastruktur dan layanan digital.
Penurunan PNBP juga akan berdampak pada harga layanan bagi masyarakat. Tarif internet yang lebih terjangkau akan mendorong penetrasi 5G lebih cepat dan meningkatkan inklusi digital di berbagai wilayah.
Lebih jauh, kebijakan fiskal yang pro-investasi akan memperkuat posisi Indonesia dalam kompetisi ekonomi digital regional. Infrastruktur digital yang kuat menjadi fondasi untuk inovasi, startup, dan pertumbuhan sektor industri berbasis teknologi.
Marwan menegaskan bahwa percepatan 5G harus menjadi prioritas pemerintah. Dengan kebijakan fiskal yang mendukung, operator dapat membangun jaringan 5G lebih masif dan merata hingga ke wilayah pelosok.
ATSI pun menyampaikan harapannya agar pemerintah segera memberikan kepastian jadwal lelang spektrum dan penurunan PNBP. Langkah ini dinilai esensial untuk membuka ruang investasi, mempercepat adopsi 5G, dan mendukung pembangunan ekonomi digital secara menyeluruh.
Dengan penyesuaian kebijakan fiskal, Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dalam penetrasi 5G dibandingkan negara tetangga. Hal ini sekaligus memperkuat fondasi ekonomi digital dan memacu inovasi teknologi di berbagai sektor.