JAKARTA - Pajak progresif kendaraan bermotor kini menjadi perhatian banyak pemilik mobil dan motor, khususnya di wilayah perkotaan. Berbeda dari pajak kendaraan biasa, pajak progresif meningkat sesuai jumlah kendaraan yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum. Dengan kata lain, semakin banyak kendaraan yang dimiliki, semakin tinggi tarif pajak yang harus dibayarkan.
Bagi pemilik kendaraan pertama, tarif masih menggunakan standar normal. Namun, kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya dikenakan tarif lebih tinggi. Pajak progresif berlaku untuk kendaraan roda dua dan empat, baik yang dimiliki perseorangan maupun badan usaha. Pengecualian diberikan untuk kendaraan kedutaan, konsulat, atau lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak sesuai Pasal 7 ayat 3 UU HKPD.
Tujuan utama pengenaan pajak progresif adalah untuk:
Mengendalikan jumlah kepemilikan kendaraan.
Mengurangi kemacetan lalu lintas.
Menekan dampak polusi udara di perkotaan.
Dasar Hukum dan Tarif Pajak
Pengenaan pajak progresif diatur melalui beberapa regulasi, termasuk:
UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), yang memberikan kewenangan pajak daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah, sebagai pedoman teknis pemungutan pajak.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2024, menjadi dasar perhitungan pengenaan PKB.
Dengan regulasi ini, pemerintah daerah memiliki kewenangan menetapkan besaran tarif progresif sesuai kondisi wilayah masing-masing.
Berdasarkan UU HKPD, batas tarif maksimal yang dapat diberlakukan:
Kendaraan pertama: maksimal 1,2%.
Kendaraan kedua dan seterusnya: maksimal 6%.
Untuk provinsi tanpa pembagian wilayah kabupaten/kota otonom, tarif berbeda:
Kendaraan pertama: 2%.
Kendaraan kedua dan seterusnya: maksimal 10%.
Contoh penerapan di DKI Jakarta (Perda No. 1 Tahun 2024):
Kendaraan pertama: 2%
Kendaraan kedua: 3%
Kendaraan ketiga: 4%
Kendaraan keempat: 5%
Kendaraan kelima dan seterusnya: 6%
Untuk badan usaha, tarif tetap 2% (tidak progresif), sedangkan kendaraan khusus seperti ambulans, angkutan umum, kendaraan pemerintah, sekolah, dan lembaga sosial diberlakukan tarif 0,5% tanpa progresif.
Cara Menghitung Pajak Progresif
Pajak progresif dihitung berdasarkan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) yang ditetapkan pemerintah daerah, menggunakan rumus:
PKB = NJKB x Tarif PKB
Contoh: Tuan A di Jakarta memiliki lima mobil dengan NJKB masing-masing Rp250 juta. Maka perhitungannya:
Kendaraan pertama → Rp250 juta x 2% = Rp5.000.000
Kendaraan kedua → Rp250 juta x 3% = Rp7.500.000
Kendaraan ketiga → Rp250 juta x 4% = Rp10.000.000
Kendaraan keempat → Rp250 juta x 5% = Rp12.500.000
Kendaraan kelima → Rp250 juta x 6% = Rp15.000.000
Total pajak progresif = Rp50.000.000 (belum termasuk opsen pajak 66%, SWDKLLJ, biaya STNK, dan TNKB).
Selain NJKB dan tarif, pemilik kendaraan dapat melihat kode pajak progresif pada STNK. Misalnya, kode 003 menunjukkan kendaraan ketiga, kode 004 kendaraan keempat, dan seterusnya.
Pembayaran dan Kewajiban
Pajak progresif wajib dibayarkan setiap tahun melalui kantor Samsat. Tanggal jatuh tempo mengacu pada yang tercantum di STNK. Keterlambatan pembayaran dapat dikenakan denda sesuai peraturan, sehingga pemilik kendaraan disarankan selalu membayar tepat waktu untuk menghindari biaya tambahan.
Pajak progresif merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk mengatur jumlah kendaraan di perkotaan, mengurangi kemacetan, dan menjaga kualitas udara. Dengan memahami aturan dan cara perhitungannya, pemilik kendaraan dapat merencanakan kepemilikan kendaraan secara lebih bijak dan sesuai kemampuan finansial.